Pemerintahan Jokowi Disorot Media Asing dan Sebut Indonesia Alami Kemunduran Demokrasi

3 Desember 2021, 12:34 WIB
Jokowi / (Pikiran Rakyat) /Pikiran Rakyat/

Zona Kaltara - Media asing kembali menyoroti pemerintahan di Indonesia, yang kini berfokus pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikatakan sebagai salah satu pemimpin populis.

Dengan judul "New Culture Wars Worsen Political Slide in Indonesia" atau diartikan sebagai perang budaya baru yang memburuk menggeser perpolitikan di Indonesia, dikatakan Jokowi tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas kemunduran demokrasi.

Baca Juga: VIRAL! Gegara Warisan Seorang Anak Tega Laporkan Orang Tua ke Polisi, Warganet: Jaman Makin Gila

Dilansir zonakaltara.com dari Bloomberg, terjadinya perang budaya yang makin panas di pasar ekonomi terbesar Asia Tenggara dengan penduduknya yang lebih dari 270 juta orang.

Meningkatnya intoleransi agama serta berbagai pengaduan kriminal kepada aktivis yang menantang para politisi seakan menjadi hal umum terjadi di Indonesia, di mana pemerintah saat ini secara terbuka menempatkan para kritikus di balik jeruji besi.

Baca Juga: Survei Elektabilitas Capres dan Cawapres 2024: Tiga Pasangan ini Terkuat

Disampaikan oleh Ruth Pollard, seorang kolumnis dan mantan pemimpin tim Pemerintah Asia Selatan dan Asia Tenggara di Bloomberg, dia mengingatkan akan kemunduran demokrasi menjadi kunci dari populis, dan bisa didapatkan gambarannya.

Hal ini dikatakannya bisa menjadi ujian bagi kepemimpinan Jokowi, serta ukuran metrik dalam sistem demokrasi Indonesia, yang pernah menuai pujian karena menjadi Presiden G20 selama setahun, dan perlunya pengawasan ekstra atas peran seperti itu.

Baca Juga: UPDATE Covid-19 di Tarakan, 1 Desember 2021, Tidak Ada Konfirmasi Pasien Sembuh dan Kasus Positif

Kenyataannya, memang benar kalau masyarakat Indonesia semakin terpecah untuk beberapa waktu ini. Pemilihan umum yang membuat mantan pembuat furnitur itu berkuasa pada tahun 2014, dan kemenangannya di pemilihan 2019, disertai dengan meningkatnya sektarianisme yang stabil.

Aksi-aksi yang terjadi pada 2016, yang tiap tahun diadakan kembali dengan nama reuni 212, di mana lebih dari setengah juta orang turun ke jalan untuk memprotes Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kemudian dipenjara karena kasus penistaan agama.

Dikatakan bahwa Jokowi yang moderat dengan berbagai strategi telah secara terus-menerus membungkam pertanyaan terkait komitmennya terhadap Islam, termasuk dengan memilih pemimpin konservatif seperti Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden.

Baca Juga: 2 Tahun PRMN, Content Creator Jadi Pekerjaan Impian Masa Depan

Selain itu, dia juga mengkooptasi saingan yang dikalahkannya dua kali selama pemilihan yaitu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan memilihnya sebagai salah satu menteri di kursi kabinet Indonesia Maju.

Pada saat yang sama, ia telah memperlakukan tokoh-tokoh Islam terkenal lainnya seperti ulama garis keras Habib Rizieq Shihab sebagai ancaman politik dan menyatakan Hizbut Tahrir Indonesia serta Front Pembela Islam sebagai kelompok terlarang.

Baca Juga: Varian Baru Omicron Mengancam 20 Negara, Masyarakat Tak Perlu Panik

Ruth menulis bahwa dengan ukuran apapun, masyarakat kini menjadi lebih konservatif di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Ada lebih dari 700 peraturan yang terinspirasi syariah yang diberlakukan di 34 provinsi selama dua dekade terakhir.

Dampak dari semua itu sangat keras kepada minoritas agama, dan perempuan dan anak perempuan, di mana setidaknya ada 64 peraturan wajib hijab yang mewajibkan perempuan berjilbab, terutama bagi pegawai negeri sipil perempuan dan di beberapa tempat umum.

Baca Juga: Timnas Indonesia Siap Tempur di Piala AFF Suzuki 2020, ini Daftar 30 Pemain dan Jadwal Pertandingan

Juga dengan diberlakukannya jam malam pada perempuan, dan melarang mereka mengenakan celana panjang di beberapa kota, seperti yang disebutkan Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch.

Di sisi lain, Alif Satria seorang peneliti terorisme, kekerasan politik dan intoleransi agama mengatakan, meningkatnya konservatisme dan menurunnya kebebasan sipil, termasuk meningkatnya ketegangan antara Islamis dan non-Islamis, mendorong penurunan demokrasi Indonesia.

Sebagian besarnya disebabkan UU ITE, yang mencakup hukuman penjara karena pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, undang-undang tersebut disebutnya digunakan pemerintah untuk memenjarakan dan membungkam para pengkritik, menimbulkan efek mengerikan.

Baca Juga: Lowongan Kerja! PT Astra Internasional Buka Loker untuk Beberapa Posisi, Pendaftaran Deadline 15 Desember 2021

Terlepas dari tanggapan pemerintah pada kritikus, termasuk Greenpeace yang sempat dilaporkan usai menyinggung klaim Jokowi bahwa deforestasi menurun di konferensi iklim COP26, popularitas Presiden Indonesia bertahan, meskipun menurun.

Menurut survei yang dirilis pada Agustus oleh Indikator Politik, sekitar 59 persen responden puas dengannya, terendah sejak Maret 2016, apabila dibandingkan pada April tahun lalu yang mencapai 64 persen dan 65 persen di Juli tahun lalu, serta koalisinya yang luas tetapi solid menguasai hampir 80 persen dari semua partai.

Baca Juga: 2 Tahun PRMN, Ciptakan Lapangan Kerja dengan Model Mediapreneur

Namun, ada tambahan 'bendera merah' dari demokrasi yang dianggap bermasalah ini, seiring dengan adanya pembangunan dinasti politik keluarga, di mana anak lelakinya dan menantu mengikuti dan terpilih sebagai wali kota, juga pemerintahan Jokowi yang telah melemahkan badan anti-korupsi negara, dan keterlibatan angkatan bersenjata dalam urusan sipil.

Freedom House, sebuah kelompok nirlaba yang berspesialisasi dalam hak asasi manusia dan demokrasi, telah menurunkan peringkat Indonesia dari “bebas” menjadi “sebagian bebas” di bawah pengawasannya, dan masyarakat merasakan hal itu.

Baca Juga: 2 Tahun PRMN, Content Creator Jadi Pekerjaan Impian Masa Depan

Pada 2009, lima tahun sebelum Jokowi menjadi presiden, hanya 17 persen yang percaya kalau warga takut berbicara tentang politik.

Pada 2021 meningkat menjadi 39 persen, menurut sampling probabilitas nasional berdasarkan survei opini publik oleh Lembaga Survei Indonesia dan Saiful Mujani Research and Consulting yang menampilkan “Jokowi Sidelines Democracy,” yang diterbitkan pada bulan Oktober di Jurnal Demokrasi Universitas Johns Hopkins.

Baca Juga: Menyesal Baru Tahu Sekarang! Ternyata Konsumsi Makanan ini Dapat Mengurangi Resiko Penyakit Jantung

"Dengan masa jabatan kedua dan terakhir Jokowi sebagai presiden yang akan berakhir pada 2024, pertanyaannya adalah, seberapa jauh Indonesia bisa jatuh?" tulis Ruth mengakhiri opini.***

Editor: Jubaedah

Sumber: Bloomberg

Tags

Terkini

Terpopuler