Pakar Hukum Sebut Kasus Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar di Kejaksaan Ne Bis in Idem

- 15 Oktober 2023, 21:25 WIB
ILUSTRASI - Korupsi.
ILUSTRASI - Korupsi. /Pikiran Rakyat /



Zona Kaltara - Mantan Direktur Utama PT Garuda Emirsyah Satar telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi Garuda oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Dalam kasus korupsi tersebut Emirsyah Satar disebut telah merugikan negara hingga Rp8,8 triliun.

Mantan Dirut Garuda ini menjadi tersangka korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR72-600. Sama seperti kasusnya di KPK, Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo selaku Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA).

Dua kasus korupsi yang menyeret eks Dirut PT Garuda Indonesia di KPK dan Kejagung tersebut pun menjadi sorotan. Pasalnya, perkara yang ditangani baik di KPK maupun Kejagung dinilai saling beririsan.

Baca Juga: Dipicu Masalah Utang, Seorang Pemuda di Tarakan Nekat Lakukan Penganiayaan hingga Penusukan

Bahkan diduga dalam kasus ini berlaku ne bis in idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.

Terkait hal ini, pakar hukum pidana yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar turut angkat bicara.

"Terkait kasus Emirsyah Satar, sebenarnya bisa disimpulkan begini, dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK disimpulkan bahwa berujung pada atau berinti pada gratifikasi. Penerimaan yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya yang kemudian itu juga dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika dulu mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," ungkap Abdul Ficar Hadjar, pada Sabtu, 14 Oktober 2023.

Selain itu, dikatakan Abdul Ficar, jika kasus tersebut dirunut kembali dari awal maka perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara, maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.

"Yang jadi pertanyaannya kan kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Korupsi tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah itu yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu," ucap Abdul Ficar.

Baca Juga: Pria di Tarakan Hilang saat Mancing di Perairan Bunyu Kaltara

Lanjut lagi Abdul Ficar menerangkan, fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu itu bisa diadili lagi.

"Karena itu kemudian kita harus melihat ketentuan yang mengatur mengenai Ne Bis In Idem itu. Ne Bis In Idem diatur dalam pasal 76 itu dinyatakan bahwa kecuali dalam hal putusan hakim yang mungkin masih diulangi, orang tidak boleh dituntut 2 kali karena perbuatan yang sama, perbuatan yang oleh hakim di Indonesia, terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Artinya sudah ada putusan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana itu sudah menjadi tetap dan sudah dijalankan dan dieksekusi," terangnya.

Oleh sebab itu, jika ada elemen perbuatan yang sudah dilakukan dan telah ada putusan awalnya lalu dijadikan tindak pidana baru, hal ini bisa menjadi Ne Bis In Idem. Kecuali jika objeknya memang berbeda.

"Mungkin kalau dari satu rangkaian yang sama diceritakan oleh penasihat hukum (Emirsyah Satar) itu ada lima perbuatan pengadaan pesawat yang oleh KPK dijadikan dasar untuk menuntut gratifikasinya, penerimaannya, tetapi di dalam dakwaan Kejaksaan menurut informasi dari kuasa hukum tadi, yang dijadikan hanya 2 perbuatan pengadaan. Jadi dua dari lima yang pernah dituntut KPK. Karena itu kemudian saya jadi langsung menyimpulkan ini sebenarnya mengadili perbuatan yang pernah diadili," kata Abdul Ficar.

Baca Juga: Bikin Usaha Lokal Mendunia, Shopee Hadirkan Program untuk UMKM

"Yang di dakwaan pertama itu didasarkan pada gratifikasi yang diterima dari 5 pengadaan pesawat dan ternyata oleh Kejaksaan itu diambil dua kemudian dijadikan dakwaan baru, yang pasalnya sebenarnya juga jadi berhimpitan. Karena itu saya cenderung (berpendapat) bahwa kasus ini tuh sebenarnya Ne Bis In Idem atau pengulangan dari yang pernah didakwakan atau dihukum. Bahkan hukumnya sudah punya kekuatan hukum tetap dan sudah dijalankan," sambungnya.

Karena itu, Dosen FH Universitas Trisakti itu pun menilai bahwa peradilan kasus korupsi Garuda yang kedua oleh Kejaksaan Agung ini sebenarnya merupakan perbuatan yang sudah ada putusannya.

"Saya menyimpulkannya sebagai Ne Bis In Idem," ucapnya.

Ia pun mempertanyakan apa tujuan penyidik Kejaksaan dalam kasus ini, khususnya dalam konteks penegakan hukum pidana. Sebab, kata dia, penegakan hukum harus yang relevan untuk diajukan.

"Semisal, apakah akan memenuhi rasa keadilan jika seorang terdakwa dituntut berkali-kali atau setidaknya dua kali dalam konteks satu rangkaian perbuatan yang sama, dengan memisahkan penuntutan terhadap perbuatan juga dilakukan penuntutan terhadap akibatnya, terang Abdul Ficar lagi.

Baca Juga: Aksi Maling Terekam CCTV Rumah Sakit, Ternyata Pelaku Sempat Curi HP di THM

"Dalam tindak pidana korupsi misalkan, apakah memenuhi rasa keadilan jika seseorang pejabat negara yang sudah dihukum karena melakukan penyalahgunaan wewenang dan menerima pemberian dari orang lain dan dihukum dengan pasal gratifikasi, harus dituntut lagi dengan pasal perbuatan melawan hukum yang merugikan negara? Bukankah si pelaku sudah dijatuhi sanksi hukuman atas rangkaian perbuatannya? Ini jelas melanggar prinsip Ne Bis In Idem," lanjutnya.

Halaman:

Editor: Hendi Rustandi

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x